Konflik Rempang: Para Petinggi Mengambil Untung, Kok Warga yang Dibuat Bingung?

Rempang merupakan sebuah pulau yang terletak di wilayah pemerintahan Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Pulau Rempang itu sendiri berada sekitar 3 kilometer di sebelah tenggara Pulau Batam dan terhubung langsung dengan jembatan Belerang V (Batam, Rempang, dan Galang) dengan Pulau Galang yang berada di bagian selatannya. Pulau Rempang memiliki luas wilayah 16.583 hektare yang terdiri dari dua kelurahan Rempang Cate dan Sembulang. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik tahun 2019, total warga yang menempati Pulau Rempang kurang lebih sekitar 6.503 jiwa. Status lahan bagi masyarakat adat Pulau Rempang sudah dianggap menjadi bagian dari identitas budaya mereka.



Wilayah Pulau Rempang
Source: Google 

    Pada September 2023 lalu, sempat terjadi konflik di Pulau Rempang yang melibatkan warga setempat. Konflik ini adalah konflik agraria antara pemerintah dengan masyarakat lokal atas pembangunan  proyek  Rempang  Eco-City  yang ditetapkan  sebagai  Proyek  Strategis  Nasional  (PSN)  di  bulan  Agustus  2023. Proyek ini akan dikerjakan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) yang ditargetkan dapat menjadi proyek industri dengan investasi hingga triliunan rupiah. Konflik lahan atau konflik agraria antara masyarakat dan pemerintah cenderung meningkat ketika dihadapkan pada pesatnya pertumbuhan perkotaan di kawasan pinggiran kota yang ditandai dengan peralihan pemanfaatan kawasan dari pedesaan menuju perkotaan


Akar konflik ini adalah hadirnya program pembangunan yang dilakukan di Rempang memiliki tujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia terhadap Singapura tetapi terdapat ketidakpastian hukum atas tanah. Masyarakat setempat menganggap bahwa tanah tersebut merupakan warisan leluhur yang telah ada sebelum kemerdekaan Indonesia. Sedangkan di samping itu terdapat Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan kepada sebuah perusahaan dan membuat tanah tersebut dianggap tidak lagi milik masyarakat dan bisa dilakukannya pembangunan. 

"Terjadinya konflik karena warga lokal rempang ingin mempertahankan wilayahnya untuk tetap hidup di tanah kelahirannya"

Konflik Rempang ini melibatkan masyarakat lokal sebagai warga lokal yang tidak ingin menyerahkan tempatnya kepada pemegang hak. Jika dikaitkan dengan konflik Wehr dan Bartos, mereka mengawali konflik ini dengan langsung mengerahkan aparat ke pulau tersebut untuk melakukan pengukuran dan pematokan lahan. Namun, kegiatan ini juga dibersamai oleh turunnya aparat gabungan terdiri atas TNI, Polri, Satpol PP, dan Direktorat Pengamanan BP Batam yang membuat warga menilai bahwa ini adalah sebuah ‘upaya penggusuran’. Tindakan yang dilakukan ini dianggap sebagai bentuk pemaksaan yang berakibat pada konflik karena dua pihak saling melawan,  dengan kepentingan mereka dan masyarakat mempertahankan wilayah mereka. Menurut sudut pandang ini, munculnya konflik disebabkan oleh perilaku konflik yakni tindak koersif. Entah untuk kepentingan bisnis atau kepentingan lain yang memberikan profit bagi para petinggi negara, yang jelas pemerintah juga tidak pernah melakukan upaya musyawarah atau diskusi dengan warga setempat. Pemerintah hanya membiarkan suatu oknum mengerahkan banyak aparat yang juga menyemprotkan gas air mata ke lingkungan setempat, bahkan sampai di sekolah-sekolah hingga banyak siswa pingsan. 



Tragedi Penembakan Gas Air Mata
Source: Google 

Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia juga sempat menjawab pada salah satu wawancara wartawan, bahwa pada tahun 2001-2002 pemerintah sudah memberikan hak atas Pulau Rempang ke suatu perusahaan. Namun, setelah itu terdapat keputusan untuk memberikan hak baru ke pihak lain. Mahfud MD mengatakan bahwa terdapat kesalahan dari pemerintah terutama dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia. Hal ini dikarenakan bahwa KLHK mengeluarkan izin penggunaan tanah kepada yang tidak memiliki hak. Dalam hal ini pemerintah berupaya untuk melakukan pengosongan tanah oleh pemegang hak, bukan penggusuran. Upaya non koersif juga sudah mulai dilakukan yakni dengan memberikan perjanjian ganti rugi atas relokasi tersebut. Meskipun demikian, warga lokal tetap melakukan penolakan karena menurut mereka upaya memajukan ekonomi dapat dilakukan di tanah Rempang tanpa menggusur warga yang sudah lama tinggal di sana.


Dalam menganalisis konflik yang terjadi di Rempang bisa digunakan pohon konflik sebagai alat bantu untuk menganalisa konflik dengan menggunakan gambar sebuah pohon untuk mengurutkan isu-isu pokok konflik. Terdapat akar, batang, dan cabang pohon yang masing-masing bagiannya menunjukan analisisnya masing-masing secara lebih terperinci. Akar menggambarkan penyebab awal munculnya masalah awal atau masalah utama. Dalam konflik Rempang, yang menjadi akar permasalahan adalah pembangunan Eco-City tanpa adanya persetujuan dari masyarakat lokal. Kemudian terdapat batang pohon yang menggambarkan masalah utama atau inti masalah dari sebuah konflik yang terjadi. Batang pohon konflik Rempang adalah ketika warga digusur dan  ketika pemerintah mengerahkan aparat serta menyemprotkan gas air mata ke lingkungan setempat. Terakhir, terdapat cabang pohon yaitu gambaran dampak yang akan timbul dari konflik yang terjadi. Dampak yang timbul dari konflik Rempang adalah banyaknya warga yang terluka dan pingsan karena konflik yang terjadi merupakan konflik koersif atau konflik dengan kekerasan. 


Resolusi konflik yang bisa dilakukan adalah dengan meluruskan kembali permasalahan yang ada dengan melibatkan pihak-pihak yang terlibat konflik. Warga yang ada di Pulau Rempang juga mengatakan bahwa akan mendukung proyek tersebut, jika pemerintah tidak memberikan keseluruhan lahan kepada investor. Dari sini kita bisa melihat bahwa warga sebenarnya hanya ingin didengarkan aspirasi dan pendapatnya, pemerintah seharusnya memberikan kesempatan bukan malah mengambil keputusan sepihak. Meskipun pembangunan Eco-City ini nantinya dapat memberikan profit bagi negara, setidaknya pemerintah juga dapat mendialogkan hal tersebut secara baik-baik kepada warga. Kemudian setelah itu, pemerintah juga harus memberikan ganti rugi yang setimpal atas perbuatan yang dilakukan oleh aparat pada saat itu yang sampai membuat warga ketakutan karena gas air mata dan tindak kekerasan lainnya. Pemerintah juga sebaiknya mengurus tentang hak lahan tanpa menuding warga Rempang tinggal secara ilegal di pulau tersebut. Jika pun nantinya tetap akan dilakukan relokasi, tentunya juga atas persetujuan warga dengan penggantian uang atau aset-aset yang setimpal.


REFERENSI:


Al-Ra’zie, Z. H., & Wahyudi, H. (2022). Konflik Kepentingan Elit Politik Lokal dalam Proyek Pembangunan: Studi Kasus Provinsi Bengkulu Tahun Anggaran 2017. Jurnal Adhikari, 1(3), 131-140.

Abdurohman, I., & Haryanto, A. (2023, September 13). Di Mana Letak Pulau Rempang, Seberapa Luas, Dan Milik Siapa?. tirto.id. https://tirto.id/profil-pulau-rempang-lokasi-letak-luas-milik-siapa-gP2s  

Fahira, T., & Fedryansyah, M. (2021). Analisis konflik sengketa lahan di kawasan kelurahan tamansari kota Bandung menggunakan pohon konflik. Jurnal Kolaborasi Resolusi Konflik, 3(1), 86-92. 

Satria.ardhi.n. (2023, September 25). Menilik Konflik rempang Dan Pengakuan pemerintah Atas Hak-hak masyarakat adat. Universitas Gadjah Mada. https://ugm.ac.id/id/berita/menilik-konflik-rempang-dan-pengakuan-pemerintah-atas-hak-hak-masyarakat-adat/  

Triani, E., Nasution, N. F., & Magello, A. N. (2023). Kedudukan Hak Atas Tanah Masyarakat Adat di Pulau Rempang Dalam Pembangunan Rempang Eco City. Jurnal Kajian Agraria dan Kedaulatan Pangan (JKAKP), 2(2), 20-26. 


Walangare, S. G., & Bachri, S. (2023). Kontestasi Kepentingan Pro-Growth Coalition dan Anti-Growth

Coalition dalam Konflik Pembangunan Rempang Eco-City Tahun 2023. Madani Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan, 15(02), 381-403


Wiyoga, P. (2023, August 21). Konflik Lahan di Rempang meruncing, Pemerintah Diminta Dengar Aspirasi Warga. kompas.id. https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/08/21/konflik-di-rempang-semakin-runcing-pemerintah-diminta-dengarkan-warga  .


Penulis : Haura Syahla Nadifa - 21512010711045

: Mutiara Syaharani Hapsari - 21512010711019

Komentar