Dilema Pekerja Tidak Tetap: Sampai Sejauh Mana Mereka Bisa Bertahan?

Di usia produktif seperti sekarang, pekerja harus mampu memutar otak untuk mencari pekerjaan yang bisa membuatnya bertahan setidaknya untuk beberapa tahun kedepan. Pada akhirnya, mayoritas pekerja memilih untuk lebih realistis dan mengambil peluang yang ada di depan mata. Meskipun jika hal tersebut tidak sesuai dengan keinginan atau kemampuan yang dimiliki. Hal ini semata-mata dilakukan agar tetap menghasilkan uang demi pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan dapat menjadi tabungan untuk kedepannya. Namun, tidak semua pekerjaan menjamin kesejahteraan pekerjanya, seperti pada pekerja tidak tetap.


Siapakah pekerja tidak tetap?

Tenaga kerja lepas atau biasa disebut pekerja tidak tetap didefinisikan di dalam Pasal 1 angka 11 PER-16/2016 sebagai pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai bersangkutan bekerja berdasar jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu pekerjaan yang diminta pemberi kerja. Dalam hal ini, penghasilan yang didapatkan oleh pekerja tidak tetap berupa imbalan atau upah harian, imbalan atau upah mingguan, upah borongan, atau upah bulanan. Pekerja dengan status PKWT (Perjanjian Kerta Waktu Tertentu). ketika bekerja di tempat yang memang jenis pekerjaannya tidak tetap. Seperti menyelesaikan sebuah pekerjaan dalam masa kontrak tertentu, contohnya proyek bangunan. Saat ini, pekerja PKWT bisa memperpanjang kontraknya dengan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja dengan waktu maksimal lima tahun tanpa maksimal pengajuan perpanjangan. 


Posisi pegawai tidak tetap dalam masyarakat 

Jika dikaitkan dengan pandangan Karl Marx, masyarakat memiliki struktur yang terdiri atas infrastruktur dan suprastruktur. Dalam infrastruktur, tenaga produktif dan hubungan produksi menjadi hal yang utama. Tenaga produktif berhubungan dengan alat kerja, kemampuan, pengalaman ketenagakerjaan, dan teknologi. Sedangkan hubungan produksi melihat pembagian kerja yang ada di dalamnya. Menurutnya, semakin tinggi tingkat perkembangan tenaga kerja produktif, semakin tinggi pula perubahan dalam masyarakat. Saat ini, para pekerja sudah mulai maju hal ini ditandai dengan peningkatan intelektualitas, kapabilitas, dan kualitas yang dimiliki dan dibentuk sejak sebelum bekerja. Meskipun demikian, tidak ada perubahan yang cukup signifikan dengan sistem pembagian kerja, waktu kerja, dan upah pekerja. Dari tahun ke tahun, para pekerja tidak tetap hanya diposisikan sebagai pekerja sampingan yang tidak mendapat perhatian. Waktu kerja yang dikuras habis di pabrik atau tempat bekerja itu tidak menjamin balasan upah yang sesuai, meski dengan tambahan lembur di setiap minggu. 


Apakah perlindungan kepada PKWT sesuai dengan basis hukum keadilan?

Dapat dilihat ketika sebuah perusahaan melakukan PHK kepada karyawan tetap dan mengangkat kembali karyawan tersebut tetapi dengan perjanjian untuk bekerja di waktu tertentu atau menjadi PKWT. Para pekerja yang terlibat tentu tidak memiliki pilihan lain selain menerima menjadi pekerja tidak tetap tersebut. Sebagai pelaksana dari Pasal 102 ayat (2) Undang-Undang No.13 Tahun 2003, pemerintah tidak memiliki fungsi penindakan karena tidak adanya hukum yang mengatur dengan jelas dan tegas untuk memberi sanksi kepada perusahaan yang mengubah status karyawannya dari PKWTT  (Perjanjian Waktu Kerja Tidak Tertentu) menjadi PKWT (Perjanjian Kerta Waktu Tertentu). Hukum di sini belum berjalan secara optimal melalui pengawasan, penindakan, dan menetapkan kebijakan yang seharusnya dilakukan pemerintah sebagai alat kontrol bagi para pekerja yang ingin menegakkan hak mereka. Dengan kata lain, konstruksi hukum yang tidak jelas dan tegas ini ikut serta dalam mewarnai pensiasatan hukum oleh pihak-pihak yang memanfaatkan kelemahan kaidah hukum dan menjauhkan dari asas equality before the law. PKWT tidak mendapatkan perlindungan hukum yang sesuai berdasarkan prinsip Equality Before the Law yang berarti penyamarataan semua orang di depan hukum. Sedangkan pada prinsip Rule Of Law, PKWT masih belum dijamin hak-haknya dan dipertanyakan kesejahteraannya. PKWT masih termasuk dalam golongan powerless yang tidak memiliki cukup kekuatan untuk melakukan sesuatu yang bisa  mengubah hukum yang ada. 


Serta patut dipertanyakan apakah model PKWT masih dapat dipertahankan dalam hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha?

Faktanya, belum ada aturan hukum yang memadai untuk pekerja tidak tetap. Justru hal ini, akan memberikan dampak yang merugikan pekerja karena tidak mendapat perlindungan hukum.

UU Ciptaker: Babak baru yang tidak membantu


Munculnya UU Cipta Kerja banyak ditentang oleh para pekerja karena sifatnya yang semakin fleksibel dalam artian tidak ada kepastian untuk para pekerja karena mudahnya pemutusan hubungan kerja, putus kontrak, bahkan menutup peluang untuk para pekerja bahwa mereka bisa bekerja hingga pensiun dan mendapatkan pesangon. Masa kontrak kerja PKWT juga bisa diperpanjang hingga ratusan kali atau biasa disebut dengan “kontrak seumur hidup”. Sebenarnya dalam UU Cipta Kerja maksimal kontrak adalah lima tahun, tetapi tidak ada batasan mengenai batas maksimal berapa kali kontrak itu dilakukan. Sehingga buruh bisa dikontrak berulang kali dan tidak ada harapan untuk bisa diangkat menjadi karyawan tetap. Jarang adanya PKWT yang diangkat menjadi PKWTT karena pengusaha lebih memilih mengontrak buruh berulang kali daripada diangkat menjadi karyawan tetap karena beberapa pertimbangan seperti upah yang diberikan kepada pekerja kontrak lebih kecil daripada pekerja tetap. Selain itu, pekerja kontrak hanya mendapatkan asuransi BPJS kesehatan tanpa adanya asuransi kesehatan tambahan. Jika kita melihat melalui perspektif sosiologis, antara pengusaha dan pekerja dengan status PKWT ini masih timpang dan belum berdasarkan prinsip equality before the law karena status pengusaha lebih kuat secara sosial dan ekonomi.


Apakah tetap bisa menjamin terpenuhinya kebutuhan pekerja?

Katakanlah jika dilihat dari data UMR BPS tahun 2020, Provinsi Jawa Timur memiliki rata-rata upah 1,7 juta. Asumsikan kebutuhan bulanan hanya ada di kebutuhan makan, belanja bulanan, dan tabungan. Posisikan ketika pekerja adalah mahasiswa fresh graduate yang belum memiliki tabungan. Pengelolaan keuangan dilakukan dengan metode 50-30-20, dimana 50% dari gaji sebanyak 850.000 digunakan untuk kebutuhan makan, 30% sebanyak 510.000 digunakan untuk transportasi dan kebutuhan sehari-hari, dan 20% sisanya sebanyak 340.000 digunakan untuk tabungan dan biaya darurat. Belum lagi cicilan-cicilan seperti rumah, asuransi, dan lainnya. Apalagi ketika pekerja tersebut termasuk kedalam sandwich generation yang juga harus memenuhi kebutuhan anggota keluarganya. Meskipun kebutuhan individu adalah sesuatu yang relatif, beban kerja yang diberikan dan jumlah gaji tersebut dapat dikatakan tidak setimpal. Ada kemungkinan individu akan hidup dengan pas-pasan diiringi dengan harga kebutuhan yang serba tinggi di masa sekarang. Sebenarnya, mereka hanya bisa memilih antara bertahan dengan menjadi pegawai tidak tetap yang notabene minim keadilan atau mencari lingkungan kerja baru yang dirasa lebih menjamin. Namun, penyesuaian kembali dan persentase kegagalan yang tinggi menjadi kebingungan para pekerja memutuskan untuk tetap mengikuti idealisme mereka atau menerima kenyataan yang mereka dapatkan sejauh ini.


DAFTAR PUSTAKA

Afif, Z. (2018). Konsep Negara Hukum Rule of Law Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Jurnal Pionir, 2(5).

Badan Pusat Statistik. (n.d.). https://www.bps.go.id/indicator/19/220/1/upah-minimum-regional-propinsi.html 

DA, A. T. (n.d.-a). Prof Aloysius Uwiyono: Pengaturan PKWT Dalam UU cipta Kerja Belum Berkeadilan. hukumonline.com. https://www.hukumonline.com/berita/a/prof-aloysius-uwiyono--pengaturan-pkwt-dalam-uu-cipta-kerja-belum-berkeadilan-lt6054c2939ca00/?page=2 


Kambali, M., & Gresik, S. A. A. M. (2020). Pemikiran Karl Marx tentang struktur masyarakat (Dialektika infrastruktur dan suprastruktur). Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Ekonomi Islam, 8(2), 63-80.


Soewono, D. H. (2012). Perjanjian Kerja Waktu Tertentu: Tinjauan dari Perspektif Juridis Sosiologis-Reflektif Kritis. Jurnal Elektronik Universitas Kediri, 25.


Penulis : Haura Syahla Nadifa - 21512010711045

: Mutiara Syaharani Hapsari - 21512010711019


Komentar